Sa’id ibn Zaid RA

Sa`id ibn Zaid ibn `Amr ibn Nufayl RA, juga dikenal dengan nama kecilnya, Abu al-Aawar, atau Abul A`war, adalah salah seorang sahabat terdekat Nabi SAW. Dia adalah seorang penghapal dan pembaca Al Qur’an yang fasih dan baik, seorang periwayat hadist, dan seorang prajurit terbaik.

Sa`id ibn Zaid RA adalah salah satu dari 10 orang—al-`Ashara al-Mubasharîn bil Janna—yang telah dijanjikan Surga.

Seperti diceritakan oleh Sa`id ibn Zaid RA, Abdurrahman ibn al-Akhnas berkata: Ketika dia sedang berada di dalam masjid, seseorang menyebut-nyebut tentang Ali RA. Maka, Sa`id RA berdiri dan berkata, “Aku bersumpah demi Rasulullah SAW bahwa aku mendengar beliau bersabda: ‘Sepuluh orang akan masuk surga. Nabi SAW akan masuk surga, Abu Bakr akan masuk surga, Umar akan masuk surga, Uthman akan masuk surga, Ali akan masuk surga, Talha akan masuk surga, Zubair ibn Awwam akan masuk surga, Sa`d ibn Malik akan masuk surga, dan Abdurrahman ibn `Awf akan masuk surga.’ Jika aku menginginkan, aku bisa sebutkan yang kesepuluh.” Orang-orang berkata, “Siapa dia?” Dan dia tetap diam. Mereka kembali bertanya, “Siapa dia?” Dia menjawab, “Sa`id ibn Zaid.” (Sa`id ibn Zaid – HR. Abu Daud)

Abdurrahman ibn `Awf RA pernah berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Abu Bakr di dalam surga, Umar di dalam surga, Uthman di dalam surga, Ali di dalam surga, Talha di dalam surga, Zubair di dalam surga, Abdurrahman ibn `Awf di dalam surga, Sa`d ibn Abi Waqqas di dalam surga, Sa`id ibn Zaid di dalam surga, Abu `Ubaidah ibn Jarrah di dalam surga.” (Abdurrahman ibn `Awf – HR. Tirmidzi)

Bila diperhatikan, terdapat pola yang sama diantara kesepuluh orang sahabat yang disebut Nabi SAW adalah para penghuni Surga tersebut. Mereka:

  • Memeluk Islam di masa-masa awal.
  • Memberikan dukungan yang berdampak besar terhadap perkembangan agama Islam dan Rasulullah SAW.
  • Melakukan hijrah ke Madinah.
  • Ikut dalam Perang Badr.
  • Bersumpah setia kepada Rasulullah SAW di Hudaibiyah.
  • Nama serta kesalehan mereka disebutkan dalam banyak hadist sahih.
  • Banyak hadist yang bersumber dari penuturan mereka.

Keluarga Yang Beriman

Sa`id ibn Zaid RA lahir di Makkah pada sekitar tahun 593 M. Ayahnya, Zaid ibn `Amr, adalah keturunan Quraisy Banu Adiy, seorang hanif—sebuah aliran kepercayaan pra-Islam pengikut ajaran monotheism Ibrahim AS—yang terkenal sangat menentang praktek-praktek polytheism yang dilakukan oleh orang-orang kafir Quraisy. Ibunya bernama Fatima bint Baaja, dan berasal dari Banu Khuza`a.

Orang-orang hanif terkenal tidak memakan daging yang dikorbankan atas nama berhala, dan mereka dikucilkan karenanya.

Menolak Berhala

Suatu ketika, ayahnya, Zaid ibn `Amr, berdiri di depan Kabah dan berbicara kepada semua orang, dia berkata, “Wahai Quraisy, lihatlah anak domba yang selalu kalian sembelih itu. Kalian selalu mengorbankannya atas nama berhala-berhala ini. Tak sadarkah kalian, domba-domba itu makan dari tumbuh-tumbuhan yang tumbuh karena Allah? Domba-domba itu minum dari air hujan yang diturunkan oleh Allah? Apakah kalian tidak malu?”

Al-Khattab ibn Nufayl—ayah Umar bin Khattab RA dan sekaligus adalah pamannya—melihatnya dan menghukumnya karena ucapannya itu. Meskipun demikian, Zaid ibn `Amr tidak pernah mundur dari keyakinannya. Dia bahkan sering terlihat pergi bersama Waraqah ibn Nawfal—sepupu Khadijah bint Khuwailid RA, seorang penyair dan pemikir Nasrani yang sangat dihormati oleh orang-orang Quraisy pada masa itu.

Seperti apa yang pernah dialami oleh Talha ibn Ubaidillah RA, Zaid ibn `Amr juga pernah mendengar kabar tentang kenabian Muhammad SAW dari para pendeta di as-Sham. Namun sayangnya, Zaid ibn `Amr tidak pernah bertemu langsung dengan Nabi SAW, dia terbunuh dalam suatu perjalanan dagang ke as-Sham pada sekitar tahun 605 M.

Sebelum meninggal dunia, Zaid ibn `Amr pernah berkata, “Allah, Penciptaku, mungkin tak mengizinkanku menemui orang ini (Muhammad SAW) yang akan menjadi Nabi di Makkah. Tapi, aku memohon kepada-Nya agar anakku termasuk orang-orang yang mengikutinya.”

Memeluk Islam

Demikianlah, latar belakang keluarganya yang beriman kepada Allah SWT. Sa`id RA kemudian tumbuh menjadi seorang remaja yang cerdas dan kritis. Dia memeluk Islam di usia sekitar 21 tahun, tidak lama berselang setelah 4 sahabat terdekat Nabi SAW memeluk Islam pada sekitar tahun 614 M. Sejarah Islam mencatat bahwa, dia adalah seseorang yang sangat saleh yang tidak pernah berseberangan dengan ajaran Muhammad SAW. Dialah salah satu narasumber Al Qur’an, dan ingatannya sungguh luarbiasa. Dia adalah seorang hafiz (penghapal).

Setelah mencapai usia dewasa, Sa`id ibn Zaid RA menikahi Fatimah bint Khattab—saudara perempuan Umar bin Khattab RA. Intimidasi dan teror yang mewarnai perkembangan agama Islam periode awal membuat Sa`id RA bersama istrinya harus menyembunyikan identitas keIslamannya, hingga pada suatu hari Umar RA memergokinya.

Bersama Rasulullah SAW

Sa`id ibn Zaid RA tidak pernah absen ikut berjuang bersama Rasulullah SAW dalam berbagai macam pertempuran. Dia adalah pahlawan Perang Badr, Perang Uhud, dan Perang Khandaq.

Dia adalah seorang intelejen dalam barisan para sahabat. Bersama Talha RA, Sa`id ibn Zaid RA selalu bergerak lebih dahulu sebelum para sahabat mulai berperang.

Dia adalah sekretaris Muhammad SAW, yang selalu mencatat dan menghapalkan ayat-ayat Al Qur’an yang turun kepada beliau (SAW).

Masa Kekhalifahan

Di era kekhalifahan Khulafaur Rashidun, Sa`id ibn Zaid RA ikut dalam berbagai macam pertempuran melawan para pemberontak. Pada era Arab Invasions, dia adalah pahlawan Perang Yarmouk yang fenomenal itu.

Seperti pernah diceritakannya—pada masa penaklukan Bilad as-Sham (Levant)—bahwa, ketika Abu `Ubaidah ibn Al-Jarrah RA sedang memimpin, ada seorang prajurit yang sedang dalam kesakitan bertanya (kepada Abu `Ubaidah RA), dia berkata, “Sepertinya kematian akan segera menjemputku. Adakah sesuatu yang ingin engkau sampaikan kepada Rasulullah SAW?” Abu `Ubaidah RA berkata, “Sampaikan salamku dan seluruh kaum muslimin kepada Rasulullah SAW. Dan katakan: ‘Ya Rasulullah, telah kami temukan kebenaran janji Allah (SWT) yang akan segera jadi kenyataan.'”

Dalam masa damai, Sa`id ibn Zaid RA ditunjuk oleh Abu `Ubaidah RA untuk memimpin di Levant, tapi dia menolaknya. Dia lebih memilih untuk menjadi warga biasa daripada seorang pemimpin. Dia menulis sebuah surat kepada Abu `Ubaidah RA, “Aku tidak dapat memanjatkan pengorbanan yang sedemikian besar. Engkau akan melakukan jihad sementara aku kehilangannya. Kirimkanlah seseorang yang lain untuk menggantikanku begitu engkau menerima surat ini. Aku akan menyusulmu secepatnya.”

Akhir Hayatnya

Sa`id ibn Zaid RA menghabiskan sisa umurnya di luar kota Madinah, di sebuah lembah bernama Al-`Aqiq.

Ketika itu, Khulafaur Rashidun sedang digoncang isu politik yang menggerogoti persatuan umat Islam berikutnya. Para sahabat telah difitnah, dan banyak diantara mereka yang terbunuh karenanya. Bahkan, Sa`id ibn Zaid RA yang sudah lanjut usia dan ingin hidup tenang di akhir usianya pun tidak luput dari serangan fitnah. Dia dituduh telah mencuri sebuah sumur oleh seorang wanita. Kasusnya kemudian dibawa ke pengadilan namun Sa`id ibn Zaid RA tidak pernah menghadirinya.

Gubernur Madinah masa itu, Marwan ibn al-Hakam ibn Abu al-`As ibn Umayyah, memanggilnya untuk diadili. Sa`id bin Zaid RA hanya berdoa kepada Tuhannya, dia berkata, “Ya Allah, kalau wanita ini berbohong dan berniat buruk, maka musnahkanlah dia dan biarkan dia mati dalam sumur yang dikatakannya itu.”

Dan Allah SWT telah mengabulkannya. Pada suatu hari, hujan yang sangat lebat turun membanjiri Al-`Aqiq. Banjir itu menghanyutkan ramai orang, termasuk wanita yang telah menuduh Sa`id RA mencuri. Wanita itu baru ditemukan kemudian setelah beberapa hari air mulai surut. Dia mati dalam keadaan membusuk dan terapung di atas sumur yang disengketakannya itu.

Sa`id ibn Zaid RA menghembuskan nafasnya yang terakhir di usia sekitar 79 tahun, dan dimakamkan di Madinah pada 51 H/673 M.

“Berhati-hatilah atas permohonan orang-orang yang terzalimi karena tiada pembatas antara doa orang itu dan Allah (SWT).” – Muhammad SAW Rasulullah