Zubair ibn Awwam RA

Jenderal perang tentara-tentara Muslim yang terkenal selanjutnya adalah Zubair ibn Awwam RA. Dia adalah keponakan Khadijah bint Khuwailid RA sekaligus ipar Nabi ﷺ karena pernikahannya dengan anak Abu Bakr RA, Asma’ bint Abu Bakr.

Zubair ibn Awwam RA memiliki seorang anak yang sangat dikenal di kemudian hari, ‘Abdullah ibn Zubair RA, seorang Amirul Mukminin yang berkuasa untuk waktu yang tidak begitu lama setelah kekhalifahan Ali bin Abi Thalib RA.

“Semua nabi punya murid dan Zubair adalah muridku.” – Muhammad Rasulullah ﷺ

Zubair RA lahir di Makkah pada sekitar tahun 594 M, dan dia adalah seorang Quraisy keturunan Banu Asad. Dia tidak pernah mengenal siapa ayahnya karena telah meninggal dunia waktu usianya masih kanak-kanak. Zubair RA dibesarkan oleh ibundanya, Saffiyah bint ‘Abdul Muttalib, yang tidak lain adalah sepupu Nabi ﷺ.

Zubair RA memeluk Islam ketika usianya masih sekitar 15 tahun dan hanya berselang beberapa hari setelah Abu Bakr as-Siddiq RA.

Memeluk Islam

Zubair RA muda sering terlibat perkelahian, dia adalah tipikal seorang remaja pemberontak. Dia tidak mengenal takut bahkan kepada orang yang lebih dewasa dan jauh lebih besar dari dirinya. Ibundanya sering dibuat repot karena ulahnya, dan Zubair RA sering dihukum karena kenakalannya. Naufal ibn Khuwailid, sang paman, adalah satu-satunya orang yang membelanya dan sering merasa iba kepadanya. Naufal sering menasehati ibunda Zubair RA, tapi biasanya ibundanya akan berkata, “Aku memukulnya supaya dia disiplin, supaya kelak dia tumbuh seperti dia mengenal ayahnya. Aku mau dia tumbuh dengan karakter dan tingkah laku yang baik sehingga kelak dia menjadi orang yang berani.”

Didikan yang keras membuatnya tumbuh menjadi seorang pemberani dan memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat. Zubair RA mengenal banyak tokoh-tokoh Quraisy dan baginya Abu Bakr RA adalah sosok ayah yang tak pernah dikenalnya. Zubair RA memeluk Islam karena kedekatannya dengan Abu Bakr RA.

KeIslaman Zubair RA membuat keluarganya kecewa. Kasih sayang dan perhatian sang paman sirna dan dia hampir saja membunuhnya saat tubuh Zubair RA diikat dengan sejenis tilam atau tikar yang tebal lalu dibakar. Asap dari tilam yang terbakar itu membuatnya sulit bernafas, dan ketika itu Naufal berkata, “Tinggalkan Muhammad (ﷺ) dan api ini tidak akan membakarmu!” Zubair RA berkata, “Tidak! Kau boleh membakarku sesuka hatimu, aku takkan meninggalkannya.”

Menetap Di Habashah

Kehidupan para pengikut Muhammad ﷺ di masa-masa awal perkembangan Islam sangat sulit. Mereka diancam, ditindas, bahkan tidak sedikit yang disiksa dan diperlakukan semena-mena oleh orang-orang kafir Quraisy. Demi menyelamatkan aqidah, beberapa diantara mereka memutuskan keluar dari kota Makkah. Demikianlah, terjadi migrasi pertama kaum Muslimin Makkah ke Habashah (Abyssinia) — sekarang Ethiopia di Afrika — pada sekitar tahun 614-615 M.

Kerajaan Aksum

Pada masa itu, di Habashah berdiri kerajaan Aksum, yang diperintah oleh seorang raja yang arif. Raja itu dipanggil Raja Armah atau yang dikenal dalam bahasa Arab sebagai Ashama ibn Abjar. Sang raja adalah pemeluk Nasrani yang taat. Dalam Islam, dia dikenal dengan sebutan Raja Al-Negus atau Raja Al-Najasa, sebuah gelar yang diambil dari garis keturunannya — sama seperti raja-raja Mesir kuno yang dipanggil dengan julukan Fir’aun (Pharaoh).

Kerajaan Aksum pada abad ke-7 adalah sebuah kerajaan yang luas dan makmur. Wilayahnya terbentang mulai dari Ethiopia hingga ke Eritrea, Sudan, Mesir selatan, semenanjung selatan Arab dan Yaman.

Migrasi

Zubair RA ikut pindah ke Habashah bersama rombongan Uthman bin Affan RA & keluarganya serta Sa’d ibn Abi Waqqas RA. 

Sejarah mencatat setidaknya ada dua peristiwa migrasi ke Habashah. Yang pertama, terdiri dari sebuah kelompok kecil berjumlah sekitar 15 orang — 11 orang diantaranya adalah laki-laki dan 4 perempuan — yang dipimpin oleh ‘Abdullah ibn Jahsh. Rombongan itu hampir saja gagal mencapai Habashah ketika orang-orang kafir Quraisy mengejar mereka sampai ke pelabuhan Shuhaibah dekat selatan Arab Saudi berbatas Yaman.

Selama hampir tiga bulan tinggal di Habashah, tersebar rumors yang mengatakan bahwa telah ramai penduduk Makkah yang memeluk Islam. Tetapi, itu hanyalah tipu muslihat orang-orang kafir Quraisy saja. Mereka sengaja menyebar kabar bohong agar orang-orang yang pindah ke Habashah mau kembali sehingga dapat ditangkap dengan mudah.

Selanjutnya, migrasi yang kedua ke Habashah terjadi satu tahun kemudian. Pada 615 M, dilaporkan setidaknya ada 82 orang laki-laki dan 18 perempuan yang pergi dari kota Makkah. Rombongan itu dipimpin oleh sepupu Nabi ﷺ, Ja’far ibn Abi Thalib RA.

Berdiri Di Hadapan Raja

Migrasi (hijrah) adalah sesuatu yang dikhawatirkan oleh kaum kafir Quraisy. Mereka takut apabila suatu saat nanti para pengikut Muhammad ﷺ akan menjadi kuat dan berhasil menjaring pengaruh di tanah seberang lalu pulang untuk membalas dendam.

Pada masa itu, Banu Quraisy merupakan aliansi dari kerajaan Aksum di semenanjung Arab. Jadi, bisa dibilang ada hubungan persahabatan yang cukup erat diantara keduanya. Khawatir orang-orang yang pindah ke Habashah menjadi kuat, maka para pemimpin kaum kafir Quraisy sepakat untuk mengutus rombongan pergi menemui Raja Negus. Rombongan itu kemudian dipimpin oleh ‘Amr ibn al-‘Ash RA (saat itu masih musyrik). Misinya adalah agar Raja Negus melarang orang-orang yang tiba dari Makkah untuk tinggal dan menetap di negeri itu dan minta segera dipulangkan. Alasan yang disampaikan kepada sang raja adalah mereka merupakan orang-orang hukuman yang melarikan diri dari kota Makkah dan hendak mencari suaka di negeri lain. Rombongan ‘Amr RA tiba di Habashah dengan membawa setumpuk cenderamata untuk dihadiahkan kepada sang raja.

Raja Negus menerima kedatangan mereka dengan sukacita. ‘Amr RA mulai bercerita dan menjelaskan maksud kedatangannya. Setelah itu, Raja Negus memanggil Ja’far RA untuk mendengar keterangannya. Demikianlah, Ja’far ibn Abi Thalib RA maju mewakili para imigran dan menyatakan pembelaannya.

Dia berkata, “Duhai Raja, kami tadinya adalah orang-orang yang bodoh, dan kami hidup layaknya binatang. Yang kuat diantara kami hidup dengan memangsa yang lemah. Kami tidak memiliki hukum apa pun, dan kami hidup di bawah kekuasaan atas kekerasan. Kami menyembah berhala yang terbuat dari batu atau kayu, dan kami tidak mengerti akan martabat manusia. Kemudian Tuhan, atas rahmat-Nya, mengirim seorang Utusan yang berasal dari kaum kami. Kami mengenalnya karena kejujuran dan integritasnya. Karakternya merupakan suri tauladan yang pernah ada bagi bangsa Arab. Dia mengundang kami untuk menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan melarang kami menyembah berhala. Dia mendorong kami untuk berkata jujur, melindungi kaum yang lemah, orang-orang miskin, para janda, dan anak-anak yatim piatu. Dia memerintahkan agar kami menghormati wanita, dan jangan pernah berbuat aniaya kepada mereka. Kami mematuhi dan mengikuti ajarannya. Namun, orang-orang di tempat kami masih menyembah berhala dan para dewa. Mereka membenci kami. Mereka mulai menganiaya kami, dan oleh karena ingin terlepas dari penganiayaan mereka, maka kami mencari perlindungan di kerajaan Anda.”

Setelah mendengar pembelaan Ja’far RA, Raja Negus memintanya untuk membacakan sepotong ayat Al Qur’an jika memang yang dikatakannya adalah sebuah kebenaran. Ja’far RA membacakan surat Maryam. Setelah itu, Raja Negus berkata bahwa apa yang disampaikan Ja’far RA sama dengan yang tertulis di dalam Alkitab yang diyakininya.

Keberpihakan sang raja ini sama sekali tidak diharapkan oleh ‘Amr RA. Keesokan harinya, dia kembali ke hadapan sang raja untuk memojokkan Ja’far RA. Dia katakan dan berdasarkan apa yang telah disampaikan oleh Ja’far RA, Isa ibn Maryam AS (Jesus son of Mary) itu bukanlah Tuhan melainkan lelaki biasa, seorang manusia biasa. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip Trinitas Nasrani. ‘Amr RA menukil ayat-ayat Al Qur’an yang telah dibacakan Ja’far RA sehingga sang raja kembali memikirkannya.

Ja’far RA kemudian berkata, “Penilaian kami atas Isa ibn Maryam AS adalah sama seperti halnya hubungan Allah dengan Rasul-Nya. Isa AS adalah hamba Tuhannya, Nabi-Nya, yang perintah-Nya telah diturunkan kepada Maryam (Mary), perawan suci.” Raja Negus berkata, “Yesus adalah seperti apa yang telah engkau terangkan, tidak lebih.” Demikianlah, akhirnya ‘Amr RA terdiam. Dia kehabisan kata dan tidak bisa lagi memojokkan Ja’far RA. Raja Negus kemudian berkata (kepada Ja’far RA), “Tinggallah dengan damai. Aku takkan pernah mengembalikanmu kepada musuh-musuhmu.”

Dilaporkan kemudian bahwa Raja Negus menutup sebuah tempat yang biasa dipakai oleh para bangsawan Quraisy manakala mereka berkunjung ke Aksum — semacam kantor kedutaan — dan menolak semua hadiah yang dipersembahkan oleh ‘Amr RA.

Sang Pemberani

Suatu ketika, terjadi pemberontakan di kerajaan Aksum. Raja Negus bersama pasukannya pergi ke utara Sungai Nil untuk menghentikan api pemberontakan. Imigran Muslim yang merasa berhutang budi kepada sang raja memutuskan untuk membantu. Maka, pergilah beberapa orang pemuda pemberani, termasuk Zubair ibn Awwam RA, ke utara.

Setelah berhari-hari di perjalanan, mereka akhirnya tiba di suatu tempat dan berhenti. Penduduk di daerah itu memberitahukan bahwa telah terjadi pertempuran antara pasukan kerajaan melawan para pemberontak di seberang sungai Nil. Mendengar hal itu, tiba-tiba saja di dalam hati para pemuda itu timbul keragu-raguan. Tak satu pun diantara mereka yang pandai berenang. Zubair ibn Awwam RA kemudian maju dan berkata, “Aku bisa berenang dengan cepat.”

Dia menantang para bangsawan Quraisy dengan pedang terhunus seolah-olah mereka sudah berada dalam masa peperangan.

Menyeberangi Nil

Sungai Nil adalah sebuah sungai internasional yang sangat panjang, lebar dan dalam di beberapa tempat. Sungai itu membelah timur laut benua Afrika, mulai dari Tanzania sampai ke Mesir dengan total panjang sekitar 6.853 km. Lebar Sungai Nil di beberapa tempat bervariasi, rata-rata 2,8 km sampai 7,5 km (di Edfu) dan yang tersempit 350 m (di Silwa Gorge), dengan kedalaman rata-rata 8-11 m. Arusnya cenderung tenang, namun dapat membahayakan dalam kondisi-kondisi tertentu. Sedimentasi yang terdapat di dasar Sungai Nil sewaktu-waktu dapat berubah menjadi sebuah jebakan pasir yang mematikan.

Demikianlah, para sahabat mulai mempersiapkan segala sesuatunya. Mereka membuat semacam pelampung sederhana yang terdiri dari kantong-kantong air yang sudah dikosongkan kemudian disatukan lalu diikatkan ke tubuh Zubair RA. Dengan itulah, kemudian Zubair RA berenang sementara yang lainnya menunggu.

Setelah beberapa waktu, mereka mulai menjadi khawatir. Tak ada tanda-tanda dari Zubair RA. Mereka tetap menunggu dan menunggu sekian lama sampai tampak ada sesuatu yang bergerak di tepian dan berenang menghampiri mereka. Zubair RA akhirnya kembali dengan membawa berita bahwa Raja Negus dan pasukannya telah berhasil menumpas para pemberontak.

Mengancam Bangsawan Quraisy

Suatu hari di Makkah, Zubair RA mendengar kabar bahwa para bangsawan kafir Quraisy sedang berkumpul dan berkomplot ingin membunuh Muhammad ﷺ. Dia datang ke tempat itu seraya mengacung-acungkan pedangnya ke arah orang-orang yang sedang berkumpul dengan penuh amarah. Dia bersumpah tidak akan membiarkan siapa pun yang ada di tempat itu hidup jika sampai Muhammad ﷺ terbunuh. Pertama kalinya ada seorang Muslim yang mengancam orang-orang kafir Quraisy di tempat mereka seolah-olah mereka sudah berperang.

Tidak ada kejadian yang menimpa Nabi ﷺ pada saat itu.

Hijrah Ke Madinah

Pada tahun 622 M, puluhan hingga ratusan orang pengikut Muhammad ﷺ hijrah ke Yathrib, yang dikemudian hari dikenal dengan nama Madinah. Sebelum pergi, Zubair RA sempat berpidato kepada orang-orang yang sedang berkumpul di sekitar Kabah saat itu. Dia berkata, “Ya Quraisy, aku akan pergi ke Yathrib. Siapa diantara kalian yang tidak suka dan berniat mencelakaiku, temui aku di lembah (itu)!”

Sebuah ancaman terhadap orang-orang kafir Quraisy, yang juga pernah diucapkan oleh Hamzah ibn ‘Abdul Muttalib RA serta Umar bin Khattab RA.

Keanehan Dalam Perang Badr

Seperti diketahui, Perang Badr adalah peperangan pertama yang pernah terjadi antara kaum Muslimin melawan orang-orang kafir Quraisy. Nabi ﷺ bersama setidaknya 300 orang sahabat pada saat itu berhasil mengalahkan orang-orang kafir Quraisy yang berjumlah tiga kali lipat lebih besar.

Telah dilaporkan ada kejadian-kejadian aneh dalam peperangan itu. Ini seperti diceritakan oleh Umar RA, Abu Sufyan RA, Al-Abbas RA, dan yang lainnya. Ketika Nabi ﷺ selesai berdoa, turun 3.000 malaikat yang dipimpin oleh Jibril (Gabriel), yang ikut berperang bersama para sahabat melawan pasukan kafir Quraisy. Para sahabat ketika itu tidak menyadarinya, sementara orang-orang kafir Quraisy sedang kewalahan menghadapi serangan-serangan yang tak terlihat.

Di kemudian hari, Abu Sufyan ibn Harb RA (waktu itu masih musyrik dan memimpin pasukan kafir Quraisy) mengatakan, “Kami melawan orang-orang sebesar gunung, mereka bisa menyerang kami, tetapi kami tidak bisa menyerang mereka.”

Al-Abbas RA (saat itu masih musyrik) yang berbadan besar tertangkap kemudian diikat lalu dibawa oleh Abu Yussur Ath-Thunami RA, yang berbadan kecil, untuk dihadapkan kepada Rasulullah ﷺ. Ketika dia menghampiri Nabi ﷺ, dan para sahabat melihatnya, mereka terheran-heran sambil bertanya, “Bagaimana itu bisa terjadi?” Abu Yussur RA berkata, “Ya Rasulullah, aku tak tahu dari mana orang ini, tapi ada seseorang yang mengikatnya untukku dan itu mudah.” Nabi ﷺ berkata, “Dia adalah malaikat yang membantumu.”

Umar bin Khattab RA mengatakan, “Kami telah melihat banyak hal-hal yang aneh, tapi tidak seperti Perang Badr. Kami tak perlu melakukan apa pun, kami bertempur, dan orang-orang beterbangan dari kuda-kudanya. Kami tak perlu melakukan apa-apa sama sekali.”

Umar RA juga menceritakan, ketika para sahabat sedang bersama Nabi ﷺ dan bersiap-siap untuk melakukan shalat Khauf (shalat dalam keadaan perang atau takut), dia berkata, “Kami dapat merasakan hangatnya lengan Jibril (AS) saat kami sedang meluruskan shaf, ingin memulai shalat.”

Nabi ﷺ menerangkan, ketika itu Jibril turun dengan mengenakan surban berwarna kuning keemasan persis seperti yang dikenakan Zubair ibn Awwam RA — ini adalah karakteristik Jibril ketika dia tampil dalam wujud manusia di hadapan para Nabi dan Rasul, serta pernah beberapa kali muncul diantara para sahabat menyerupai seorang pemuda yang paling tampan dan gagah diantara mereka.

Pantang Mundur Di Uhud

Rasulullah ﷺ dan para sahabat harus mundur naik ke Bukit Uhud ketika pasukan kafir Quraisy menyerang dan membalikkan keadaan. Nabi SAW yang sedang dikawal oleh beberapa orang Anshar bersama Zubair RA dan Talha ibn Ubaidillah RA memerintahkan kepada Zubair RA untuk menghentikan seseorang yang sedang menyerang membabi buta dan telah membunuh beberapa orang sahabat. Maka, Zubair RA maju dan melawan orang itu, tetapi malang bagi Talha RA, dia pingsan bersimbah darah setelah Perang Uhud berakhir.

Ditakuti Di Hunayn

Zubair RA tidak pernah takut bahkan ketika harus berduel dengan musuh-musuhnya. Dalam Perang Hunayn, pihak musuh benar-benar mengantisipasinya, sampai-sampai mereka berkata, “Itu Zubair ibn Awwam. Dia tak ada takutnya. Kalian harus berhati-hati dengannya. Dia tak kenal takut kecuali kepada Allah.”

Menjadi Jenderal Perang

Di era kekhalifahan Umar bin Khattab RA, Zubair ibn Awwam RA memimpin satu pasukan berkekuatan 1.000 orang untuk pergi ke Mesir guna membantu pasukan ‘Amr ibn al-‘Ash RA yang sedang dalam masalah. Dilaporkan, pasukan ‘Amr RA sedang kesulitan menghadapi pasukan Byzantium Romawi yang kuat. Umar bin Khattab RA membentuk 4 pasukan yang masing-masing dipimpin oleh Ubadath ibn Tsamid RA, Al Mi’dad ibn Aswad RA, Maslamah ibn Khallad RA dan Zubair RA.

Dalam Perang Yarmouk yang luar biasa, Zubair ibn Awwam RA memimpin satu resimen berkuda di bawah komando Khalid bin Walid RA.

Gugur Dalam Perang Saudara

Zubair ibn Awwam RA merupakan saksi bisu dari fitnah keji yang pernah terjadi di masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib RA. Dia terbunuh dalam Perang Jamal (Perang Unta) pada tahun 36 H/656 M di Basra (Iraq). Perang itu juga telah merenggut nyawa Talha ibn Ubaidillah RA. Disebut-sebut bahwa ‘Amr ibn Jumuz adalah orang yang telah membunuhnya, wallahu a’lam.

Zubair ibn Awwam RA meninggal dunia di usia 62 tahun di Basra.

Ali bin Abi Thalib RA pernah berkata, “Aku berharap dalam hatiku, dan aku tahu, Allah akan mengumpulkanku bersama-sama mereka, dan kami akan bersama di dalam Surga.” Kemudian dia membaca surat Al-Hijr,

15_47

“Dan kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadapan di atas dipan-dipan.” — Qur’an 15:47